Pengobatan Swamedikasi Untuk Alergi

Pengobatan swamedikasi untuk menangani gejala yang timbul akibat reaksi alergi dapat dilakukan dengan pemberian Obat OTC (Over The Counter). Swamedikasi menggunakan obat OTC sebaiknya dilakukan pada anak-anak yang berumur >7 tahun (Siponen, 2014). Obat OTC dapat dibeli dengan bebas di apotek dan untuk pemilihan obat OTC dapat dilakukan dengan berkonsultasi dengan apoteker di apotek tersebut. Berikut adalah obat OTC yang dapat digunakan untuk swamedikasi antialergi pada anak berdasarkan reaksi alergi yang dialami:
a.       Rinitis Alergi/Demam
Pada anak yang mengalami reaksi alergi berupa demam dapat diberikan antihistamin (Blenkinsopp et al., 2014). Antihistamin yang dapat dibeli di apotek adalah Mebhidrolin, Pheniramin hidrogen maleat, Dimetidin maleat, Astemizol, Oxomenazin, Homokloriklizin HCl dan Dexchlorpheniramine (Menkes RI, 1990). Selain pemberian antihistamin, untuk menangani gejala yang timbul dapat diberikan obat golongan dekongestan (Contoh: Pseudoefedrin) dan Natrium kromoglikat. Namun penggunaan nasal dekongestan tidak direkomendasikan pada anak (Blenkinsopp et al., 2014; BNF, 2015).
b.      Diare
Pada anak yang mengalami reaksi alergi berupa diare dapat diberikan terapi cairan dan elektrolit. Larutan sederhana dapat disiapkan dengan cara mencampurkan 1 L air dengan 8 sendok teh gula, dan 1 sendok teh garam (Dipiro et al., 2014; Burns et al., 2016). Air yang mendidih sebaiknya tidak digunakan dalam penyiapan cairan rehidrasi karena dapat membebaskan CO2. Larutan dapat disimpan selama 24 jam dalam lemari pendingin. Jangan menggunakan larutan atau cairan yang mengandung gula tinggi untuk pembuatan larutan rehidrasi karena kadar gula yang tinggi dapat menyebabkan larutan menjadi hiperosmolar sehingga memperburuk keadaan pasien. Jumlah pemasukan cairan pada pasien diare perlu untuk dipertimbangkan terkait kondisi diare dan umur pasien. Ketentuan mengenai jumlah larutan dehidrasi berdasarkan umur pasien ditampailkan pada Tabel 3.5 (Blenkinsopp et al., 2014).
Tabel 3.5 Jumlah larutan rehidrasi (Blenkinsopp et al., 2014)
Umur Pasien
Jumlah Larutan
< 1 tahun
50 mL (1/4 gelas)
1-5 tahun
100 mL (1/2 gelas)
6-12 tahun
200 mL (1 gelas)
Dewasa
400 mL (2 gelas)
Dehidrasi selain dapat dicegah dan ditangani dengan ORS yang dibuat sendiri, juga dapat dilakukan terapi dengan sediaan pengganti cairan yang tersedia di pasaran contohnya pedialyte, rehydralyte, dan ceralyte. Pada diare berat biasanya diperlukan penggunaan larutan parenteral apabila ada keluhan muntah atau pasien tidak sadarkan diri (Burns et al., 2016). Obat lain yang dapat diberikan adalah obat yang termasuk dalam kategori absorben, misalnya obat yang mengandung attapulgit, kaolin dan pektin (Dipiro et al., 2014)
c.       Asma
Pada anak yang mengalami reaksi alergi berupa asma hanya dapat diberikan penangan berupa obat yang telah diresepkan oleh dokter sebelumnya. Obat digunkan untuk pengobatan asama adalah golongan Agonis Beta 2 (Contoh: Salbutamol), Bronkodilator (Contoh: Teofilin, Aminofilin), Kortikosteroid (Contoh: Beklometason dipropionat, Budesonid, Flutikason propionat) dan Antagonis Reseptor Leukotrin (Contoh: Natrium kromoglikat dan Nedokromil) (BNF, 2015). Ketika persediaan obat asma telah habis, beberapa obat asma yang pernah diresepkan oleh dokter dapat dibeli di apotek. Obat-obat tersebut adalah Suppositoria Aminofilin, Ketotifen, Terbutalin dan Salbutamol (Menkes RI, 1990). Pemberian obat asma dapat dilakukan secara oral atau menggunakan alat bantu seperti inhaler dan nebulizer. Orang tua atau care giver sebaiknya mengetahui cara penggunaan inhaler dan nebulizer.

d.      Dermatitis Atopik
Pada anak yang mengalami reaksi alergi berupa dermatitis atopik dapat diberikan obat OTC sebagai berikut Topikal Kortikosteroid (Contoh: Krim Hydrokortison, Krim Alklometason 0,05% dan Krim Klobetason 0,05%) dan Antipruritis (Contoh: Bedak atau Lotion Kalamin). Orang tua atau care giver disarankan untuk memperhatikan penggunaan sabun pada anak, dimana penggunaan sabun yang dapat menyebabkan kulit kering sebaiknya dihindari (Blenkinsopp et al., 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar